Pernahkah kamu sedang sedih, lalu ada teman yang dengan entengnya bilang, “Sudah, jangan sedih! Berpikir positif saja!” atau “Syukuri saja, masih banyak yang lebih susah dari kamu”? Awalnya mungkin niatnya baik, tapi lama-lama kok rasanya malah bikin kesal, ya?
Segala sesuatu yang berlebihan itu tidak baik, meskipun itu hal Positif.
Nah, itulah yang namanya Toxic Positivity. Ini adalah keyakinan berlebihan dan tidak efektif bahwa, tidak peduli seberapa sulitnya situasi, seseorang harus mempertahankan pola pikir positif. Toxic positivity menolak emosi negatif dan mengabaikan perasaan-perasaan sulit yang sebenarnya wajar dirasakan oleh manusia. Alih-alih membantu, sikap ini justru bisa berbahaya bagi kesehatan mental kita. Yuk, kita bedah kenapa toxic positivity ini bisa jadi masalah dan bagaimana cara menghadapinya.
Kenapa Toxic Positivity Berbahaya?
Mengabaikan Perasaan yang Valid
Ketika seseorang merasa sedih, marah, atau kecewa, perasaan itu adalah respons alami terhadap suatu masalah. Dengan mengatakan, “Jangan sedih,” kita seolah-olah menyuruh orang tersebut untuk menekan perasaannya. Padahal, semua emosi itu penting. Emosi negatif memberi kita sinyal bahwa ada sesuatu yang tidak beres dan perlu diatasi. Jika terus-menerus diabaikan, emosi ini bisa menumpuk dan meledak di kemudian hari, atau bahkan menyebabkan masalah kesehatan mental yang lebih serius.Menciptakan Rasa Malu dan Bersalah
Saat kamu merasa terpuruk dan orang di sekitarmu terus-menerus menyuruhmu untuk "berbahagia", kamu bisa merasa bersalah karena tidak bisa memenuhi ekspektasi itu. Kamu jadi berpikir, “Kenapa ya aku tidak bisa sekuat mereka? Apa aku ini lemah?” Padahal, merasa sedih itu bukan tanda kelemahan. Ini adalah bagian dari proses menjadi manusia. Toxic positivity membuatmu merasa malu karena memiliki perasaan yang dianggap “negatif.”Menghambat Pertumbuhan Diri
Proses menghadapi dan mengatasi kesulitan adalah cara kita belajar dan tumbuh. Ketika kamu dipaksa untuk terus-menerus berpikir positif tanpa memproses masalah, kamu kehilangan kesempatan untuk introspeksi. Misalnya, jika kamu gagal dalam wawancara kerja, toxic positivity akan menyuruhmu langsung melupakan kegagalan itu dan "fokus pada yang berikutnya." Padahal, seharusnya kamu merenung, mencari tahu di mana letak kesalahanmu, dan memperbaiki diri untuk kesempatan di masa depan.Menghancurkan Komunikasi dan Empati
Ketika kamu mencoba curhat dan respons yang kamu dapatkan hanyalah, “Syukuri saja,” itu bisa membuatmu merasa tidak dipahami. Akhirnya, kamu jadi enggan untuk berbagi lagi. Komunikasi pun terputus. Toxic positivity menghilangkan ruang untuk empati yang tulus karena seolah-olah semua masalah bisa diselesaikan hanya dengan mindset positif, padahal tidak semudah itu.
Lalu, Bagaimana Cara Menghadapinya?
1. Validasi Perasaanmu Sendiri
Langkah pertama adalah mengakui bahwa perasaanmu itu valid, apa pun itu. Kamu boleh sedih, marah, kecewa, atau lelah. Beri dirimu izin untuk merasakan emosi tersebut. Katakan pada dirimu sendiri, “Aku merasa sedih, dan itu tidak apa-apa.”
2. Batasi Interaksi dengan Sumber Toxic Positivity
Jika ada orang terdekatmu yang sering menyebarkan toxic positivity, cobalah untuk membatasi interaksi dengannya, setidaknya saat kamu sedang merasa rapuh. Jika tidak memungkinkan, coba sampaikan dengan baik-baik, “Aku tahu niatmu baik, tapi saat ini aku hanya butuh didengarkan, bukan disuruh untuk langsung bahagia.”
3. Ganti Toxic Positivity dengan Empati yang Sebenarnya
Jika kamu yang berada di posisi mendengarkan curhatan, ubah kalimat “Sudah, jangan sedih” menjadi “Aku mengerti kamu pasti sedih. Aku ada di sini untukmu.” Validasi perasaan orang lain tanpa harus memberikan solusi instan. Terkadang, yang dibutuhkan hanyalah seseorang yang mau mendengarkan tanpa menghakimi.
4. Cari Keseimbangan: Realistic Positivity
Hidup itu tidak selamanya indah dan tidak selamanya buruk. Keseimbangan adalah kuncinya. Cobalah untuk menerapkan realistic positivity, yaitu sikap positif yang didasarkan pada kenyataan. Alih-alih menyangkal kesulitan, kamu justru menghadapinya dengan realistis sambil tetap mencari sisi baik atau pelajaran dari situasi tersebut.
Misalnya, jika kamu gagal ujian, daripada bilang “Semua akan baik-baik saja” (toxic positivity), lebih baik katakan, “Aku kecewa dengan hasilnya, tapi aku akan mencari tahu di mana kesalahanku dan belajar lebih keras untuk ujian berikutnya.” (realistic positivity).
Pada akhirnya, pertumbuhan diri bukan tentang selalu bahagia, melainkan tentang bagaimana kita menghadapi dan bangkit dari kesulitan. Emosi negatif bukanlah musuh, melainkan teman yang memberikan sinyal penting. Jadi, jangan takut untuk merasakannya, dan jangan biarkan toxic positivity mengambil hakmu untuk menjadi manusia seutuhnya.